Minangkabau- Ku Kini...
Pergeseran budaya lokal dalam masyarakat mulai
dirasakan. Mitos dan kepercayaan pun dijungkir balikkan. Pergeseran nilai
kapitalisme perlahan-lahan menjalar hingga pelosok pedesaan. Ini merupakan
dampak difusi budaya menjadikan masyarakat gagap akan perubahan. Gaptek
teknologi dan gersang nilai dan etika kemanusiaan. Seiring dengan mudahnya
jalur komunikasi dan banyaknya pengguna HP mengakibatkan Amerika dapat dengan
mudah mengetahui keadaan. Maka dengan mudah pula menguasai seluruh
sektor.
Sosok budaya dan
intelektual di abad 21 mengalami pergeseran dari segi pergaulan, remaja minang lebih mendominasi pada
pergaulan bebas salah satunya tidak kita temukan lagi rasa malu di kalangan
remaja. Di samping itu, kurangnya budaya malu dalam masyarakat baik itu di
pedesaan dan perkotaan. Seperti yang kita alami sekarang ini, kita belajar
untuk memahami kemajemukan, perbedaan budaya, dan pergaulan sosial. Pandangan
sosiologis karakter masyarakat Minang mengalami kehilangan pegangan.
Memang, pergaulan masyarakat sifatnya dinamis dan membuahkan hasil kebudayaan
yang dapat memperkaya wawasan intelektual. Budaya sifatnya memutlakan suatu
keyakinan tanpa mengempur perbedaan keyakinan. Padahal, saat kita mempelajari
pengalaman masa lampau, sejarah sosial telah membawa masyarakat minangkabau
kepada suatu babak baru.
Pergaulan
Difusi budaya juga mencengkeram musnahnya etika pergaulan di Ranah Minang.
Dekandensi moral telah tampak seiring dengan maraknya pergeseran norma
pergaulan misalnya pergaulan bebas telah merambah pada kalangan remaja, kasus
mahasiswi hamil diluar nikah hingga berhenti kuliah, narkoba, dan perkelahian.
Kasus ini dapat dengan mudah kita telusuri di sekolah maupun di kampus.
Orang Minang dahulu mendidik anak-anak terutama anak gadisnya agar berpakaian
sopan sedangkan dalam konteks pergaulan hubungan pertemanan antara pria dan
wanita sangat dijarakkan. Berbeda pada masa sekarang, wanita dan laki-laki kita
temui berdua-duaan tanpa ikatan di mal-mal, supermarket, pasar, tempat
pariwisata. Padahal, orang Minang menyarankan anak gadisnya untuk menjaga diri
dan tahu dengan batas kesopanan. Namun, kelihatannya amat sangat berbeda dengan
masa lampau, anak-anak muda sekarang tidak tahu dengan malu ataukah malu itu
sudah mulai hilang?. Kita sering melihat anak-anak muda di kota Padang maupun
berbagai wilayah di Sumatera barat bermesraan, dan berboncengan seperti
layaknya suami istri.
Sering kita temui anak-anak gadis Minang masih berada diluar rumah hingga laru
malam. Padahal, masa dahulu kalau anak gadis masih berada diluar rumah disaat
Magrib dianggap sebagai gadis yang tidak baik tingkah lakunya.
Pakaian
Dahulu anak gadis Minang banyak yang memakai baju kurung sedangkan sekarang
kita temui anak-anak gadis Minang yang memakai baju kurang.Pada tahun 1980-an
hingga 1990 sebelum memasuki abad milenium biasanya orang dewasa dan remaja
berpakaian longgar. Baru pada era milenium dan era globalisasi ditemukan anak
gadis memakai pakaian adiknya. Kalau dahulu orang memandang bahwa anak gadis
berpakaian ketat dianggap “aneh” sedangkan sekarang melihat anak gadis
berpakaian ketat tidak dianggap “aneh” lagi karena sudah membudaya di kalangan
generasi muda. Seiring dengan berkembangnya dunia mode dan fashion seolah-olah
anak gadis Minang sekarang, tidak mau ketinggalan baik itu model pakaian,
sepatu, aksesoris, segi pergaulan, dan lain sebagainya.
Pada akhir 1999-2000-an adalah puncak dunia mode di Indonesia yang diadopsi
dari konsep-konsep budaya Perancis dan Amerika sehingga para desainer Indonesia
berlomba-lomba mendesain model baju. Berkaitan dengan cepatnya arus distribusi
barang sehingga perkembangan model pun merambah di Ranah Minang.
Linguis atau Bahasa
Dalam kajian linguistik atau kebahasaan seolah-olah masyarakat Minangkabau
melupakan sendiri bahasa. Fenemena yang mengambarkan kegetiran orang
Minangakabau dengan bahasa ibunya sendiri. Khususnya didaerah kota Padang
misalnya kita temui anak-anak berusia 2-3 tahun diajarkan untuk mengenal bahasa
Indonesia tetapi apabila anak tersebu mendengar bunyi bahasa lain seperti
bahasa Minang sebagai akar bahasa, malahan dilarang.
Bahasa Minang adalah bahasa ibu yang turun temurun di gunakan sebagai alat
komunikasai begitu pula bahasa Indonesia dipakai sebagai jembatan komunikasi
antar rumpun provinsi. Ironis, bila kita temukan anak-anak berusia 2-3 tahun
diajarkan oleh orang tuanya bahasa Indonesia, padahal mereka berasal dari
daerah Minang namun memakai bahasa Jakarta. Seakan-akan kita dibawa ke Jakarta,
padahal Jakarta berada diluar pulau Sumatera.
Dari kasus tersebut, dapat kita liha bahwasanya niat orang tua yang ingin
anaknya dianggap pintar. Tetapi, dengan mengajarkan bahasa Indonesia kepada
anak-anak dan remaja yang sering menggunakan prokem atau jargon Jakarta
seakan-akan Minangkabau kehilangan kekhasannya. Dalam suatu wilayah di daerah
Minangkabau, penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi pun renggang dengan
cuap-cuap bahasa Jakarta. Lantas, orang Minang kini benar-benar telah menganut
paham Jakartaisme. Sehingga, bahasa ibu pun sengaja dilupakan atau karena
ikutan tren.
Di radio-radio lokal, bahasa Minang kelihatannya jarang sekali dipakai sebagai
alat menyampaikan pesan. Malahan, radio-radio tersebut berbangga diri bahasa
Indonesia yang notabene bukan dari daerahnya (Minangkabau). Menurut sosiologi,
masyarakat daerah sedang mengalami anomie budaya atau kehilangan pegangan sehingga
apa pun yang tampak selalu diadopsi. Hilangnya minat remaja Minang menggali
kebudayaan secara mendalam bahkan ironis sekali kalau kita berada di Ranah
Minang menggunakan dan memakai bahasa yang bukan bahasa ibu (mother tongue)
kita sendiri.
Acara-Acara yang Dikemas
Begitu pula dalam siaran-siaran radio di kota Padang dan daerah, kelihatannya
sedikit sekali kita temui radio-radio khas Minangkabau. Malahan, radio-radio
yang selalu berseloroh dengan bahasa Indonesia atau Jakarta. Dalam siaran radio
kelihatannya hanya menonjolkan pergaulan remaja masa kini, dan kurang
unsur-unsur pendidikan. Isi dari radio-radio tersebut memaparkan tentang kisah
cinta, lagu-lagu cinta dan kisah-kisah roman picisan. Alangkah baiknya jika
dalam siaran radio itu menginformasikan mengenai kebudayaan, ilmu pengetahuan,
dan menyiarkan musik-musik yang berkualitas dengan lirik-lirik yang berkualitas
pula.
Epilog
Minangkabau kini memang sulit ditemui, kita hanya menemukan budaya-budaya kota
dan Jakartaisme yang menyebar hingga pelosok pedesaan. Disana-sini kita temui
semacam distorsi kebudayaan. Memang pada abad 21 yang dikenal sebagai abad
modern menyebabkan masyarakat begitu mudah untuk dihasut, dimusuhi, disebabkan
karena pegangan itu tidak erat lagi.
Seolah-olah nilai-nilai adat dan norma-norma agama hanya dipandang sebagai
wacana semata. Oleh sebab itu, pendidikan terutama pendidikan dalam keluarga
adalah hal yang terpenting dalam menanamkan budi pekerti pada anak-anak.
Norma-norma dalam masyarakat Minangkabau pun perlahan-lahan tidak kita temui
lagi, justru budaya yang merambah adalah budaya asing yang jelas-jelas tidak
sesuai dengan kebiasaan orang Minangkabau itu sendiri. Baiknya orang tua, ninik
mamak, bundo kanduang menanamkan tradisi-tradisi lisan kepada anak-anaknya.
Selain itu mengajarkan cara berpakaian, bergaul, dan bermasyarakat.
Written by Elsya Crownia/padang-today.com
|
Sunday,
12 April 2009
|